MAJENE- Sejumlah bukti dilapangan terkait pengembangan berbagai aspek perumahan kita masih dihadapkan banyak persoalan untuk segera mendapatkan penanganan secara optimal.
Ditengah pesatnya, pembangunan perumahan di Kabupaten Majene terkonfirmasi sejumlah bangunan berdiri dilahan empang alias rawa.
Menurut Direktur Walhi Sulbar, salah satu faktor utama memicu alih fungsi lahan adalah tingginya kebutuhan perumahan di Kabupaten Majene.
“Tindakan itu dilakukan untuk memperluas kawasan pemukiman tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Padahal, perubahan fungsi lahan seperti ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan dan sosial yang serius,” ungkapnya.
Ia jelaskan, meski kemudian bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan hunian. Lahan lahan sebelumnya berfungsi daerah resapan air beralih menjadi kawasan perumahan.
Asnawi ingatkan, para pengembang di Majene untuk lebih bertanggung jawab dalam melakukan pembangunan dan meminta pimpinan dinas terkait untuk tak mudah memberikan izin kepada pengembang ingin mendirikan perumahan dilahan berstatus empang atau lahan basah hanya untuk semata kepentingan bisnis.
“Dampaknya cukup jelas dan meningkatkan resiko banjir lantaran empang dan rawa berfungsi menjadi resapan alami menampung kelebihan air,” ujarnya.
Ketika empang dan rawa ditimbun untuk pembangunan berimplikasi akibatkan daya serap tanah berkurang drastis. Sehingga, air seharusnya meresap dalam tanah justru mengalir ke permukiman sekitar dan sebabkan banjir.
“Apalagi, faktanya disejumlah titik kota Majene alami banjir saat diguyur hujan dengan insensitas rendah dan menandakan daya tampung lingkungan bermasalah,” katanya.
Selain itu, proses penimbunan lahan perumahan ini juga didukung oleh eksploitasi tambang galian C yang semakin masif. Untuk memenuhi kebutuhan material timbunan, banyak gunung diratakan, merusak keseimbangan alam di wilayah sekitar.
Lebih parahnya, aktivitas ini diduga banyak dilakukan oleh penambang ilegal yang tidak memiliki izin resmi dan tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik. Akibatnya, erosi dan longsor menjadi ancaman baru, terutama bagi masyarakat yang tinggal disekitar area pertambangan.
Ia tegaskan, semakin memperburuk keadaan adalah adanya dugaan keterlibatan oknum aparat yang memback-up aktivitas tambang galian C ilegal.
Bahkan, diduga mendapatkan perlindungan dari pihak – pihak tertentu. Makanya, para penambang dan pengembang merasa aman dan terlindung tanpa rasa takut terhadap sanksi hukum.
“Oknum itulah melahirkan pengawasan menjadi lemah dan berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan semakin tak terkendali,” terangnya.
Sesuai tinjauan ilmu kebencanaan, eksploitasi air tanah berlebihan dapat sebabkan penurunan muka tanah (land subsidence) juga meningkatkan resiko banjir.
Tak sampai disitu, eksploitasi air tanah yang berlebihan, perumahan-perumahan ini juga tidak dilengkapi dengan sarana pengelolaan limbah buangan rumah tangga dan layanan sampah yang memadai. Limbah domestik langsung dibuang ke lingkungan tanpa pengolahan yang baik, mencemari sungai, tanah, dan sumber air bersih di sekitarnya.
Termasuk, Sampah rumah tangga yang tidak dikelola dengan baik juga menambah permasalahan lingkungan dengan meningkatkan pencemaran dan berpotensi menimbulkan berbagai penyakit bagi masyarakat. Kurangnya fasilitas pengelolaan limbah dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol menjadi bukti bahwa izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dari para pengembang ini patut dipertanyakan.
“Harusnya, tiap pembangunan perumahan wajib memiliki dokumen Amdal secara ketat dan dijalankan dengan benar. Namun, fakta dilapangan menunjukkan banyak pengembang abai terhadap tanggung jawab mereka dalam menjaga keseimbangan lingkungan,” urainya.
Izin dikeluarkan pun perlu ditinjau ulang agar tidak semakin merugikan masyarakat dan lingkungan dalam jangka panjang. Melihat berbagai dampak buruk penting bagi Pemkab Majene bersama pengembang lebih bijak dalam perencanaan tata ruang. (rls/tt)