Arifuddin Samual/Borek
Tidak sedikit penduduk dunia yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan modern yang baik karena telah berhasil menumbangkan sistem oligarki dan monarki absolut di berbagai negara. Bahwa sejak sistem demokrasi menjadi icon baru sistem pemerintahan dunia banyak negara beralih dari sistem oligarki dan monarki memang fakta sejarah yang menarik.
Namun, apakah benar demokrasi berhasil mengatasi berbagai bentuk ketimpangan kuasa (power inequality) sampai penghisapan dan penindasan terhadap manusia – sebagaimana lazim terjadi dalam pemerintahan oligarki maupun monarki – masih perlu dipertanyakan.
Dalam konteks kepastian ideologis demokrasi sudah menjadi semacam agama sekuler modern. Demokrasi diyakini sebagai penyelamat dunia, penyelamat keadilan, pelindung wong cilik dan sebagainnya.
Zaman Yunani kuno demokrasi tidak hanya menjadi sebuah cara mengelola masyarakat. Tapi juga menjadi semacam cult (keyakinan keagamaan) yang punya ritual persembahan untuk Dewi Demokratia setiap tanggal 12 bulan Boedromion (September/Oktober). Ritual seperti ini telah dimulai sejak abad ke-4 SM (Mikalson, 1982), dengan demikian demokrasi di zaman modern tidak lain adalah metamorfosis dari tradisi masyarakat pagan Yunani kuno.
Pesatnya perkembangan demokrasi tidak dapat dilepaskan dari semangat yang berkobar-kobar dari kelompok masyarakat yang menginginkan kebebasan dan lepas dari berbagai aturan yang ditetapkan oleh penguasa. Mereka – yang dikenal sebagai kelompok liberal – menyandingkan demokrasi dengan kebebasan menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin dan batas-batas kewenangan hingga masa berkuasa seorang pemimpin ditentukan oleh rakyat bukan oleh pemimpin itu sendiri.
Para penguasa tidak boleh mendominasi ruang politik, ekonomi dan kebudayaan. Perimbangan kekuasaan (balance of power) antara yang berkuasa dengan yang dikuasai mutlak harus ada agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Oleh sebab itu harus dibentuk sebuah badan yang mewakili kekuatan rakyat yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan sekaligus membatasi kekuasaan para elit penguasa.
Ide-ide pembebasan (liberasi atau emansipatoris) yang memberi harapan kepada banyak orang untuk dapat keluar dari ketertekanan dan pengekangan dikembangkan melalui wacana demokrasi kemudian berubah menjadi sebuah kepastian ideologis. Kepastian ideologis inilah yang menyetarakan demokrasi dengan agama. Akibatnya setiap upaya menyangkal ‘kebenaran’ demokrasi akan dianggap sebagai ‘kekafiran’ dalam bentuk lain. Kelompok-kelompok masyarakat yang berusaha mengkritisi atau melawan sistem demokrasi akan mendapat reaksi keras dan kecaman dari para penganut ajaran demokrasi, serta dituduh sebagai pembawa gagasan otoriter yang sudah tumbang.
Namun dalam perkembangannya ide-ide demokrasi tidak berkembang ke satu arah, tapi juga melahirkan sejumlah mazhab dengan kepastian ideologisnya sendiri-sendiri. Kepastian ideologis dapat mengalami perubahan menjadi kepastian manipulatif karena usaha-usaha sekelompok orang yang ingin mengambil keuntungan dari sistem demokrasi. Manipulasi konsep demokrasi seperti itu bukan sesuatu yang baru melainkan sudah menjadi wacana sejak masa Socrates sampai saat ini (Hesk, 2000: 2 – 6).
<span;>Dari pembentukan kepastian manipulatif itulah muncul mazhab-mazhab seperti Demokrasi Liberal, Demokrasi Rakyat, Demokrasi Terpimpin, dll. yang sejatinya adalah hasil upaya sekelompok orang yang secara diam-diam mempertahankan dominasi politik.
Demokrasi Liberal dibangun oleh kelompok yang cenderung pada free fight competition yaitu yang menguasai sebagian sumber daya alam dan finansial, serta mempunyai modal politik (political capital) yang berlimpah. Sementara Demokrasi Rakyat digalang oleh kelompok komunis yang selalu menyandang nama rakyat untuk menguasai rakyat.
Rakyat yang namanya dijadikan landasan argumen biasanya tidak menyadari telah terjadi manipulasi dan penumpukan kekuasaan di tangan penguasa. Di abad ke-17 Thomas Hobbes menyebut ‘pencurian’ kekuasaan oleh penguasa ini sebagai Demokrasi Leviathan. Pemerintah Amerika Serikat mengklaim bahwa negara itu anti-Leviathan, tapi sejak pemerintahan Presiden G. W. Bush demokrasi di AS justru cenderung menjadi Leviathan, antara lain karena rakyat tidak dapat berbuat apa-apa ketika presiden berbohong dalam kebijakan internasional (Bovard, 2005: 7 – 14).
<span;>Bush menghancurkan Irak dengan alasan negara itu mempunyai senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) dan memiliki jaringan dengan Al Qaeda yang dituduh mendalangi pemboman WTC pada 9 September 2001. Namun dinas rahasia AS memastikan semua itu tidak benar (Bovard, 2005: 21). Bush bukan presiden AS pertama yang berbohong kepada publik. Bundy (1998) menguraikan kebohongan di balik diplomasi yang dilakukan Presiden Nixon tentang kebijakannya di Vietnam dalam bukunya A Tangled Web: The Making of Foreign Policy in the Nixon Presidency.
<span;>Ketidakjujuran para politisi adalah ‘cacat bawaan’ sistem demokrasi, apapun mazhabnya. Tokoh-tokoh komunis di negara yang menganut Demokrasi Rakyat tidak lepas dari pernyataan-pernyataan yang mendustai rakyat dan memaksa rakyat untuk mempercayai begitu saja ucapannya. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, tidak sedikit jumlah politisi yang suka mengumbar janji menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, tapi tidak pernah memenuhi janjinya setelah mendapat jabatan. Rakyat bukan tidak tahu bahwa mereka didustai, tapi mereka memilih diam atau hanya mentertawakan melalui berbagai anekdot di media sosial. Mereka tidak punya kekuatan untuk menyingkirkan para pendusta dari panggung kekuasaan.
Memang benar, sistem demokrasi telah melumpuhkan sistem monarki dan oligarki tradisional, tapi sebenarnya tidak pernah dapat menyingkirkan kekuatan dominan yang mampu memanfaatkan sistem apapun juga untuk keuntungan mereka. Politik dinasti, misalnya, yang menyebabkan kekuasaan selalu bergulir hanya di lingkungan kelompok atau keluarga tertentu terjadi di berbagai negara penganut sistem demokrasi baik secara terang-terangan maupun secara samar-samar.
Di Amerika Serikat tidak ada yang dapat mengalahkan kelompok Yahudi dalam urusan kekuasaan: mereka selalu berada di belakang presiden terpilih karena demikian besarnya pengaruh mereka dalam dunia politik (Duke, 2014). Kekuatan itu mereka peroleh melalui pendidikan dan usaha-usaha yang menghasilkan banyak uang. Mereka dikenal sebagai kelompoknya orang-orang cerdas yang menguasai ilmu pengetahuan dan piawai dalam berbisnis. Weber (2002) menulis, “Selama tiga dekade terakhir, orang-orang Yahudi [di Amerika Serikat] telah menghasilkan 50 persen dari dua ratus intelektual teratas … 20 persen profesor di universitas terkemuka … 40 persen mitra di firma hukum terkemuka di New York dan Washington … 59 persen direktur, penulis, dan produsen dari 50 film terlaris tahun 1965 sampai 1982, dan 58 persen direktur, penulis, dan produsen di dua atau lebih serial televisi primetime.”
<span;>Orang-orang Yahudi, seperti halnya orang Cina di Indonesia, sangat menikmati dan mendapat manfaat besar dari sistem demokrasi. Sebagai minoritas mereka mendapat hak yang sama dengan mayoritas, tapi kelemahan pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi memberi peluang besar bagi mereka mendapatkan hak yang lebih dari patut melalui jalur ilmu pengetahuan, industri besar, ekspor-impor, perdagangan grosir dan jaringan gerai retail, aneka media komunikasi, dan lembaga keuangan.
Penumpukan kekuasaan di tangan sekelompok orang merupakan lahan subur bagi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan kelompok tersebut. Korupsi yang sulit diberantas adalah bagian dari akibat penumpukan kekuasaan yang seharusnya tidak ada dalam sistem demokrasi. Namun kenyataannya penumpukan kekuasaan tetap terjadi di negara-negara bersistem demokrasi, sehingga melahirkan asumsi bahwa penumpukan kekuasaan itu tidak akan dapat dihabisi oleh sistem apapun juga. Demokrasi bercita-cita membagikan keadilan dan menyeimbangkan kekuasaan, namun tidak pernah dapat benar-benar mewujudkannya.
Ketimpangan kuasa (power) dalam sistem demokrasi lebih menyolok mata dengan dibolehkannya kelompok tertentu menguasai media (Baker, 2007), yang tentu saja akan digunakan untuk menyuarakan kepentingan kelompoknya. Bagaimana pun juga media adalah alat politik, alat meraih dan mempertahankan kekuasaan. Kadang digunakan kata yang terkesan heroik: alat perjuangan. Jadi media bukan semata-mata kegiatan bisnis atau dibuat karena kebaikan hati pengelolanya berbagi berita dengan pembaca. Oleh sebab itu netralitas media yang sering didengungkan itu sebenarnya tidak pernah ada.