Oleh: Arifuddin Samual
TelukMandar.com- Siang tadi seorang teman berkunjung ke rumah saya. Ia membawa tiga orang pendamping. Kemungkinan ketiganya bagian dari tim sukses balon (bakal calon) kepala daerah.
Tujuan sang teman menemui saya sudah dapat diduga. Ia ingin mengenalkan balon dukungannya.
Ia tahu saya senang diskusi politik, meskipun belum punya pengalaman dalam mengantarkan kontestan kepala daerah menuju kursi idamannya. Saya juga hanya punya sedikit pengetahuan tentang kampanye dan komunikasi politik.
Pertanyaan yang ia ajukan cukup berat untuk dijawab. Pertanyaannya, bagaimana strategi dan taktik menggiring Gen Z ke TPS dan mendapatkan suara mereka?
Gen Z adalah penduduk yang lahir antara 1997 hingga 2012. Sekarang usia tertinggi mereka 27 tahun. Dari statistik pemilih persentase Gen Z paling tinggi.
Saya berikan pendapat saya sampai ke level taktis. Tapi tidak akan saya paparkan di sini.
Saya hanya akan menjelaskan bagaimana strategi mempengaruhi Gen Z. Sebagai langkah awal, kita perlu memahami karakteristik Gen Z dalam berkomunikasi. Gen Z lebih suka berkomunikasi dengan yang seangkatan mereka ketimbang dengan yang lebih tua seperti Generasi Y (Millennial) atau yang lebih tua lagi, Baby Boomers.
Generasi Milennial atau Gen Y lahir antara 1981-1996. Sekarang usia tertinggi kelompok ini 43 tahun dan terendah 28 tahun. Sedang Baby Boomers lahir antara 1946 – 1964. Populasi generasi ini terbilang paling kecil.
Gen Z lahir dan dibesarkan di tengah perkembangan teknologi internet yang sangat pesat. Mereka penikmat dan konsumen utama media sosial (medsos). Perkembangan mental dan pola komunikasi mereka sangat terpengaruh oleh medsos. Mereka tidak dapat disamakan dengan Gen Y atau Baby Boomers yang bukan penduduk asli dunia maya.
Dinamika komunikasi Gen Z, karena terpengaruh oleh medsos, sangat tinggi. Beragam ide dan pesan yang mengalir dengan cepat melalui medsos memenuhi pikiran mereka. Banjir ide dan pesan itu menyebabkan mereka tidak sempat berpikir dalam terhadap suatu isu.
Banjir ide dan pesan itulah titik awal dari munculnya konsep-konsep seperti click-bait, fomo, dsb. Sederhananya, medsos mengajarkan pikiran instan, cepat berganti, dan membuat mereka mudah bosan.
Di samping instan, medsos juga menyita perhatian dan energi mereka sampai tak tersisa lagi untuk berinteraksi dengan Gen Y atau Baby Boomers. Sangat sulit bagi mereka berkomunikasi dengan kedua generasi itu karena mendamaikan perbedaan cara pandang cenderung menguras energi dan waktu. Mereka tidak betah dan tidak sabar walau hanya untuk sekedar memahami. Menghindar dan menutup akses komunikasi jadi pilihan terbaik.
Intinya, tidak mudah menggiring Gen Z ke TPS untuk memberi suara. Tapi bukan berarti tidak bisa. Kita harus mampu berpikir kreatif, _out of the box_, agar tujuan dapat dicapai.
Hemat saya, kunci aksesnya terletak pada kemampuan tim membangun narasi yang dapat ‘ditangkap radar’ para Gen Z itu. Jangan menyampaikan narasi yang tidak mereka pahami. Misalnya, mereka lebih tertarik pada isu ‘khodam’ ketimbang ‘korupsi’, karena itu jangan ragu untuk mengemas narasi yang ada ‘khodamnya’.
Sekarang isu apa yang sedang melanda Gen Z? Kita bisa melihat Google Trend, TikTok, Instagram atau X. Trending issue itulah yang dijadikan kosa kata utama untuk berkomunikasi dengan mereka. (as)