Oleh : Arifuddin Samual
Kebanyakan orang soroti pencitraan dilakukan Kang Demi Mulyadi dengan akronim KDM, Gubernur Jawa Barat melalui konten miliknya disejumlah platfon media sosial.
Hasil perhatian itu kemudian keluarlah sebutan “Gubernur Konten”. Konotasinya tidak selalu positif. Apalagi kata pencitraan sudah kadung diasosiasikan negatif lantaran trauma medsos disebabkan pembohongan publik di periode sebelumnya.
Sebenarnya, bagian paling menarik konten medsos KDM adalah ungkapan pikirannya tentang kemajuan rakyat. Simak apa dirinya sampaikan dalam pidato – pidato resmi maupun semi resmi. Bagi saya, mind=blowing.
Bayangkan saja, KDM tak tanggung – tanggung kritik pengelolaan keuangan negara yang menyedot dana rakyat melalui aneka pajak. Tapi, rakyat tak kunjung sejahtera.
KDM juga kritik pengelolaan tata ruang tidak bersahabat dengan lingkungan. Ia marah sekali melihat lingkungan dirusak dengan berbagai macam cara.
KDM pun sangat prihatin dengan kemiskinan rakyat akibat gaya hidup hedon, minjam uang dibank emok (rentenir), banyak anak, dan sebab – sebab lain.
KDM gundah melihat generasi muda yang rusak, tidak hormat kepada orang tua, suka bolos sekolah, suka tawuran, main HP, mengonsumsi obat terlarang, dll. Ia tidak melihat masa depan yang baik dari cara hidup remaja. Kegundahan inilah yang ia coba atasi dengan mengirim remaja-remaja bermasalah ke barak militer.
Bagi saya yang tak kurang menarik adalah semangatnya untuk kembali ke kearifan lokal Sunda. KDM merasa bangsanya sudah sangat terjajah oleh berbagai kepentingan asing, baik kultural maupun politis. Pikiran ini membuat semangat saya untuk menoleh kepada jati diri terasa berkobar. Kita memang belum bebas dari penjajahan.
Popularitas KDM membuat orang berhalusinasi menjadikannya Presiden atau Wakil Presiden. Hemat saya, terlalu prematur memikirkan itu, biar sajalah KDM bermanuver dengan gayanya yang otentik dan mengusik ‘harga diri’ Gubernur-Gubernur di Indonesia yang cenderung hanya doyan jabatan minus kerja.
Untuk jadi Presiden RI belum tentu KDM cocok. Ia seorang pemimpin fighter, dekonstruktif bahkan destroyer. Sementara untuk jadi presiden di Indonesia orang harus bisa berdamai dengan aneka kejahatan. Lebih baik jadikan KDM guru bangsa saja agar gebrakan-gebrakannya menjadi kenangan heroik yang abadi.