Oleh: Arifuddin Samual
Ombak berkejaran, layar sandeq terkembang, dan di tengah riuh angin terdengar teriakan lantang dari buritan perahu: “Turuq!”.
Sekilas tampak seperti aba-aba biasa, namun bagi pelaut Mandar di Sulawesi Barat, kata itu adalah bagian dari bahasa angin—sistem kosakata tradisional untuk membaca arah angin dan mengendalikan layar.
Bahasa angin ini kaya istilah. Biluq untuk angin depan, lari sabang untuk angin samping, hingga turuq untuk angin buritan. Menariknya, turuq dipakai fleksibel, baik untuk angin dari belakang penuh maupun serong. Sederhana, tetapi efektif di tengah ombak.
Selain itu, pelaut Mandar juga mengenal manuver seperti tunggeng biluq (belok ke arah angin) dan tunggeng turuq (belok dengan angin belakang). Instruksi ini menunjukkan keterampilan sekaligus keberanian para pelaut menjaga keseimbangan perahu di laut lepas.
Lebih jauh, istilah-istilah ini juga memuat filosofi hidup. Biluq dimaknai sebagai keberanian melawan arus, lari sabang sebagai keluwesan mencari jalan tengah, dan turuq sebagai kebijaksanaan mengikuti alur hidup.
Warisan tersebut kini hidup kembali lewat Sandeq Silumba, lomba perahu tradisional tercepat di dunia. Dalam ajang ini, teriakan “Turuq!” bukan hanya menggerakkan layar, tapi bisa menentukan siapa yang lebih dulu melintasi garis finis.