MAJENE- Pemalsuan dokumen adalah tindakan ilegal yang membuat atau mengubah dokumen dengan tujuan menipu atau merugikan orang lain. Pemalsuan dokumen dapat dilakukan pada berbagai dokumen, seperti surat, sertifikat, ijazah, dan tanda tangan.
Pemalsuan dokumen diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia. Pasal-pasal yang terkait dengan pemalsuan dokumen mencakup Pasal 263 dan Pasal 264.
Aspek hukum lainnya juga ditengarai melabrak 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Pasal 43 ayat (1) menyebutkan bahwa pendataan fakir miskin harus dilakukan secara terbuka dan akurat.
Jika ada pihak yang secara sengaja mengubah atau memalsukan data, maka dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Program Keluarga Harapan. Pasal 16 menegaskan bahwa validasi data penerima PKH harus dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Ditegaskan secara gamblang, tekankan Desa wajib melibatkan masyarakat dalam proses pemutakhiran data.
Dalam kasus sedang menimpa Ibu Rumah Tangga (IRT) di Desa Bonde Utara, Kecamatan Pamboang lantaran data miliknya alami perubahan. Padahal, sebelumnya berstatus Ibu Rumah Tangga (IRT) tiba – tiba berubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam data milik Desa Botra, Sabtu 8/3/2025.
Menurut Nurul merupakan korban saat hendak berobat di PKM Pamboang secara tiba – tiba BPJS miliknya tidak aktif. Padahal, tiga hari lalu dirinya masih menerima Program Keluarga Harapan (PKH) dikantor Desa Botra.
Fakta kemudian kejutkan korban yang berdomisili di Dusun Rea itu, setelah diketahui BPJS miliknya. Nurul pun langsung mendatangi Desa Botra dan tanyakan BPJS miliknya sudah tidak aktif.
Mirisnya, bukan hanya data miliknya, kedua anak dan suami korban ikut dinonaktifkan. Selain itu, ia juga terkonfirmasi keluar dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Tanpa berfikir panjang, korban langsung mendatangi kantor Desa Botra dan menanyakan dengan tidak aktif BPJS miliknya. Pihak Desa sarankan membuat SKTM lalu dibawa menuju kantor Camat.
Setelah berada di kantor Camat, pihaknya tidak ketahui duduk masalahnya dan sarankan kembali dikantor Desa Botra.
Tak sampai itu, setelah kembali menuju kantor Desa Botra kembali disarankan masuk melakukan pengurusan dikantor BPJS dan Sosial.
Namun, ketiga instansi ditemui korban, semua sarankan kembali diDesa dan tanyakan terkait data miliknya tiba – tiba keluar dari DTKS.
Fakta lainnya, pihak BPJS Majene sendiri akui data korban dimulai dinonaktifkan tertanggal 28/2/2025 lalu oleh pihak Desa Botra.
Tak lama – lama, setelah mendatangi tiga instansi direkomendasi Desa sudah didatangi dan meminta korban kembali mendatangi Desa dengan alasan data mikiknya berada disana.
Setelah kembali datangi Desa dan sempat tanyakan langsung kepada Sekretaris Desa (Sekdes) terkait data miliknya.
Korban secara spontan meminta kepada aparat untuk membuka data miliknya, rupanya sudah berubah dan berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam dugaan pemalsuan dokumen itu juga ditengarai sudah berlangsung lama dan memakan sejumlah korban di Desa. Mereka tiba – tiba keluar dari DTKS dan tak menerima PKH sampai dinonaktifkan BPJS miliknya.
Tindakan itu, membuat nurul merasa kecewa dan berencana akan membuat laporan polisi dengan dugaan pemalsuan dokumen dilakukan oknum aparat Desa Botra.
Laporan lainnya, selain ditengarai terjadi dugaan pemalsuan dokumen juga dilaporkan sejumlah warga terkait dugaan pengutan liar (pungli) dalam setiap penyaluran BLT.
Sementara saat dikonfirmasi Penjabat (Pj) Desa Bonde Utara (Botra) dan menanyakan masalah dugaan pemalsuan dokumen pihaknya menjawab tidak ketahui sama sekali. “Selama ini saya tidak tau masalah itu,” terang Bakriadi melalui via telepon. (rls/as)